Jumat, 22 Oktober 2010

0 BELAJAR DARI GURU NUMAN

BELAJAR DARI GURUNUMAN

Ada sebuah nasihat yang bisa direnungkan: Jadilah seorang alim yang mengajarkan ilmunya atau menjadi seorang guru. Bila tidak, jadilah seorang siswa atau murid atau santri atau mahasiswa. Bila tidak, jadi seorang pendengar yang mendengarkan nasihat dan ilmu. Dan jangan menjadi orang yang ke-empat yaitu sebagai pengganggu atau pengacau dan tidak termasuk dari ketiga orang sebelumnya.
Pepatah populer juga mengatakan: Carilah ilmu sampai ke negeri Cina. Ada juga pepatah lain yang menyebutkan: Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat. Dari nasihat dan dua pepatah itu memberikan motivasi kepada kita agar tetap menuntut ilmu dimanapun, ke manapun, dan sampai kapanpun. Baik dari masa balita, masa anak-anak, masa remaja, sampai masa tua proses menuntut ilmu terus dilakukan.
Untuk memperoleh ilmu salah satunya dapat dilakukan dalam kegiatan belajar mengajar, yang di dalamnya terdapat guru dan murid sebagai elemen utamanya. Interaksi guru dan murid yang tercipta dalam kegiatan itu, akan membawa perubahan pada ke dua elemen tersebut. Murid sebagai penerima ilmu akan bertambah pengetahuannya, sedangkan bagi guru sebagai pemberi informasi akan lebih paham dengan pengetahuannya. Dan bukan tidak mungkin akan didapatkan pengetahuan baru dari pengalaman yang didapat dalam interaksi tersebut.
Seperti kita ketahui dalam teori pendidikan tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan belajar mengajar adalah terjadinya perubahan baik aspek pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotorik). Dari aspek pengetahuan akan terjadi perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan dari bodoh menjadi pintar. Dari aspek sikap yang mulanya ragu-ragu diharapkan menjadi yakin, dari tidak sopan menjadi sopan dan dari kurang ajar menjadi terpelajar. Sedangkan dari aspek keterampilan perubahan yang diharapkan adalah dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak terampil menjadi terampil dan dari tidak ahli menjadi ahli.
Jika tujuan itu saja dihayati dan dicamkan untuk setiap kegiatan belajar mengajar, secara umum akan mudah dinilai keberhasilan dari interaksi itu. Bahkan di dalam setiap pertemuan akan bisa dievaluasi dan dinilai sejauh mana tujuan umum itu dapat dicapai. Penilaian tidak hanya dapat dilakukan oleh guru, tetapi bisa dilakukan oleh siswa sendiri, sebagai evaluasi dan enstropeksi apakah pembelajaran pada pertemuan itu telah membuat perubahan pada siswa pada salah satu aspek baik pengetahuan, sikap atau keterampilan.
Untuk mencapai tujuan itu akan ditemui kendala pada pelaksanaannya, kendala bisa muncul dari pihak pengajar maupun dari siswa, belum lagi kendala lain di luar ke dua elemen utama tersebut semisal sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan belajar mengajar itu.
Salah satu kendala yang sering terjadi pada kegiatan belajar mengajar yang dapat membuat tidak tercapainya proses transfer ilmu pengetahuan adalah adanya gurunuman. Yang dimaksud dengan gurunuman itu bukan nama seorang guru, tetapi adalah istilah dalam bahasa Banjar yang berarti adanya orang-orang yang berbicara, berdialog, atau berdiskusi sehingga menimbulkan suara yang bisa didengar oleh orang lain dalam ruangan tersebut.
Sebagai contoh di dalam proses belajar mengajar, sewaktu seorang guru sedan menjelaskan suatu pelajaran di depan kelas, di pihak lain dalam ruangan itu di salah satu pojok ruangan ada dua orang siswa atau lebih yang mengobrol. Pembicaraan sebagian siswa itu menimbulkan suara, bisa dari suara orang berbisik sampai dengan suara yang jelas terdengar orang lain yang berada dalam ruangan itu. Dua orang atau lebih yang berbicara disaat orang lain sedang konsentrasi mendengarkan pembicara utama yang menjelaskan yang disebut gurunuman.
Kejadian adanya guru dan gurunuman itu bisa saja terjadi di dalam kelas reguler dari sekolah tingkat dasar sampai tingkat lanjut, dari kelas strata satu sampai kelas strata tiga. bisa pula terjadi dari pertemuan formal dan informal seperti rapat, penataran, pelatihan, lokakarya, seminar dan simposium. Bisa pula terjadi di luar ruangan seperti pada waktu apel maupun upacara bendera dan pembelajaran di alam terbuka. Dari pertemuan level RT, kabupaten sampai dengan tingkat pusat.
Gurunuman bisa terjadi karena adanya hal yang menarik untuk dibicarakan, dapat berupa hal yang berkaitan dengan materi pembicara utama maupun hal lain di luar materi yang sedang dibahas. Hal ini akan sulit ditahan karena hal yang akan dibicarakan akan bisa hilang sejalan dengan hilangnya ide bila tidak ditulis. Dapat pula terjadi karena pembicara utama penjelasannya kurang menarik dan monoton. Sehingga menimbulkan kebosanan bagi yang mendengarnya. Dan kebosanan itu ditunjukkan dengan cara berbicara atau berdiskusi dengan rekan di sampingnya. Ataupun terdapat perbedaan pendapat dengan pembicara utama, dan untuk menyampaikan langsung agak sungkan, salah satu cara untuk menyampaikan pendapatnya adalah membicarakannya dengan teman yang ada di dekatnya.
Sikap gurunuman akan menimbulkan suara berisik di dalam ruangan. Secara langsung mengakibatkan orang yang gurunuman itu, tidak bisa menyerap materi yang diajarkan pada saat itu. Karena konsentrasi pada saat itu hanya tertuju kepada lawan bicaranya. Hal ini bisa dibuktikan dengan cara memberikan feed back dengan memberikan pertanyaan pada salah satu orang yang gurunuman itu. Tentu dia akan menanyakan kembali apa pertanyaannya baik kepada temannya ataupun kepada pembicara utama yang memberi pertanyaan.
Secara tidak langsung juga mengakibatkan suasana sedikit gaduh di dalam kelas. Hal ini akan mengganggu orang lain yang ada dalam ruangan itu dan akan memecah konsentrasi yang lain akibat adanya orang yang gurunuman itu. Bagi guru sendiri sebagai pembicara utama akan merasa tidak dihargai dan disia-siakan karena pembicaraannya tidak didengarkan. Secara psikologis juga memberikan pengaruh kepada siswa maupun guru.
Dalam kelas, guru sebagai aktor/ aktris yang berperan di depan kelas bisa menimbang apakah gurunuman itu dalam katagori biasa atau tidak biasa, mengganggu jalannya pembelajaran maupun tidak, masih dalam batas toleransi atau sudah melewati batas toleransi. Penanganan yang tepat adalah memberikan teguran langsung ataupun melakukan pembiaran selama masih dalam batas toleransi dan gurunuman itu terjadi tidak berlangsung dalam waktu yang lama.
Menegur orang yang gurunuman dapat dilakukan tanpa masalah apabila orang-orang itu berada pada level di bawah daripada orang yang menegur. Seperti guru dapat menegur siswa, dosen dapat menegur mahasiswa, dalam rapat atasan dapat menegur bawahan. Dan beberapa bulan yang lalu dapat disaksikan presiden menegur dengan cara menunjuk kepada menteri yang gurunuman pada rapat kabinet terbatas yang dipimpinnya.
Sedangkan untuk menegur orang yang mempunyai level lebih tinggi atau mempunyai level yang sama dibutuhkan keberanian untuk melakukannya. Misalkan dalam rapat, pelatihan, penataran, seminar dan simposium. Karena kadang bagi orang Indonesia peneguran itu dapat mengakibatkan rasa tidak enak bahkan dendam dalam hati orang yang ditegur.
Namun sikap gurunuman dalam kegiatan belajar mengajar jarang ditemui dalam dakwah Islam tradisionil. Seperti dalam sebuah majelis ta’lim yang dilaksanakan di pesantren-pesantren, di masjid-masjid, atau di mushala-mushala. Dalam majelis itu, sang Guru yang menyampaikan dengan metode ceramah satu arah, kata-katanya didengarkan dan disimak dengan baik oleh audiennya. Bahkan jika materi yang disampaikan tidak menarik atau sudah disampaikan berulang-ulang, sikap gurunuman jarang ditemui.
Padahal jika dicermati perbandingan guru dengan murid begitu besar, dapat satu guru berbanding dengan seribu murid bahkan lebih, jika sang guru adalah orang yang disenangi oleh masyarakat. Coba kita bandingkan dengan rasio ideal guru dan siswa di sekolah 1 : 30 atau untuk sekolah kejuruan dan universitas 1 : 12, dengan perbandingan yang ideal itu masih ditemui orang yang gurunuman.
Kenapa dalam proses transfer ilmu pada majelis ta’lim maupun tablik akbar jarang ditemui orang yang gurunuman. Bisa jadi karena masih adanya konsep sami’na wata’na dalam Islam sehingga guru atau ulama masih ditiru dan digugu. Perkataannya yang berupa ilmu, petuah dan nasihatnya masih dituruti dan dipatuhi. Atau memang orang yang datang di majelis itu adalah orang baik-baik dan berniat baik, yang tidak ingin menjadi kambing hitam dan sadar untuk tidak ingin menjadi pengganggu dalam kegiatan transfer ilmu tersebut.
Memang pada pertemuan awal ceramah yang diberikan berkenaan dengan adab seorang murid sebagai orang belajar dan adab seorang guru sebagai orang yang mengajar. Seperti yang disebutkan dalam kitab Ihya Ulumuddin, Sairus Salikin, dan Hidayatus Salikin berkenaan dengan gurunuman disebutkan pada adab yang ke tujuh orang yang belajar yaitu “bahwa jangan berbisik-bisik ia dengan orang yang duduk bersamanya di hadapan gurunya”. Dan adab itu secara empiris dipatuhi pada pertemuan-pertemuan selanjutnya.
Sebetulnya pada pertemuan kelas di sekolah maupun perguruan tinggi diberikan arahan agar sewaktu ada pengajar menjelaskan di depan kelas, agar diperhatikan dan disimak kata-katanya. Dan kadang diharapkan dalam nasihat siswa bisa empati, atau diberikan contoh seandainya dia di depan kelas memberikan materi dan orang-orang yang di depannya saling berbicara atau gurunuman, bagaimana perasaannya? Tentu merasa tidak dihargai, kemudian menegur bahkan bisa marah, seperti yang dilakukan oleh presiden kita beberapa bulan yang lalu.

About the Author

I'm Dilipkumar, the founder of Wordpresstoblogger.info. This blogger Template was made by me, if you like it Subscribe to Our Feed and Follow Me on Twitter Wptoblogger

    Other Recommended Posts

0 komentar:

Posting Komentar

 
back to top